Renaissance Sunda


Pada akhir-akhir perkuliahaan saya di Pascasarjana STSI Bandung, Dr. Arthur S. Nalan memberikan pandangannya bahwa saat ini, kebudayaan Sunda (sedang) mengalami kebangkitan kembali: “Renaissance”. Pandangan tersebut beliau berikan setelah mendengarkan pernyataan saya terhadap fenomena kebudayaan Sunda zaman kiwari. Di mana generasi muda pada komunitas-komunitas tertentu menggunakan simbol-simbol kebudayaan Sunda dengan kebanggaan yang tidak dapat ditutup-tutupi seperti iket, baju pangsi, kujang dengan pelbagai bentuknya, karinding, dan lain sebagainya. Tentu saja hal tersebut sering kali—walaupun tidak semuanya—berujung kepada eklektisme kebudayaan yang alpa dengan subtansi filosofisnya; hal yang sangat wajar dalam konteks post-modernisme. Akan tetapi, pada konteks kebudayaan Sunda yang subtansial eklektisme dapat melahirkan pelbagai masalah yang serius. Sebetulnya, kebudayaan Sunda dalam fenomena kekinian tidak melulu harus dipandang melalui pakem-pakem historisnya, karena dinamika kebudayaan terkini telah memaksa kebudayaan Sunda untuk berhadapan vis a vis dengan kebudayaan lainnya. Dengan demikian, kebudayaan Sunda dapat di(re)interpretasikan dengan bebas oleh siapa pun karena subtansialitas kebudayaan Sunda telah bergeser ke arah yang paling niscaya—seperti halnya Zarathustra yang turun gunung, pergi ke pasar dan membunuh tuhan.

Renaissance secara harfiah berarti “kelahiran kembali”. Istilah ini merujuk kepada sebuah gerakan kultural pada abad ke-14 yang bermula di Italia dan menyebar hampir ke seluruh Eropa hingga akhir abad ke-17. “Kelahiran kembali” yang dimaksud dalam istilah Renaissance adalah kembali lahirnya kebudayaan Yunani dan Romawi kuno, setelah berabad lamanya dipenjarakan oleh masyarakat abad pertengahan atas perintah Vatikan. Sebelumnya menjelaskan lebih lanjut, perlu dipahami terlebih dahulu istilah Renaissance atau “kelahiran kembali” secara utuh agar tidak terjebak kepada simplifikasi yang membingungkan. Renaissance atau “kelahiran kembali” bukanlah reproduksi kultural antik, melainkan interpretasi baru atasnya[1]. Dengan kata lain, Renaissance bukanlah romantisme terhadap kejayaan kultural Yunani dan Romawi kuno melainkan interpretasi baru atasnya yang penuh dengan vitalitas yang melahirkan sebuah gerakan kultural yang sangat progresif di dalam bidang agama, sastra, filsafat, seni, politik, ilmu pengetahuan eksaktis, dan lainnya. Oleh sebab itu Renaissance melahirkan pula gerakan humanisme karena manusia menjadi subjek refleksi atas segala sesuatunya. Jelas, hal ini menggeser teosentrisme menjadi antroposentrisme karena refleksi adikodrati bergeser kepada refleksi kodrati; relevansi subjektivitas menjadi sangat sentral mengalahkan dominasi “transendentalistik” yang normatif.

Sebetulnya setiap kebudayaan memiliki peluang Renaissance-nya tersendiri sebagai akibat dari konstansi zaman. Karena segalanya pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Seperti kata Heraclitus: “Perubahan itu konstan; ‘Panta rei, ouden menei’ (semuanya mengalir, tidak ada yang diam).” Indonesia memiliki pelbagai macam kebudayaan lokal, sehingga “Renaissance” memiliki peluang yang terbuka sangat lebar. Apa lagi sejak Orde Baru digulingkan pada tahun 1998. Pada masa Orde Baru, heterogenitas kebudayaan lokal diikat ke dalam homogenitas kebudayaan Nasional yang tidak keruan pada tataran konsep dan bentuknya, yang pada akhirnya melahirkan jurang pemisah yang sangat terjal di antara kebudayaan lokal yang ada di Nusantara. Barulah, setelah Orde Baru berhasil digulingkan, kebudayaan lokal di Nusantara melepaskan diri dan melakukan pelbagai macam (re)interpretasi atas dirinya sendiri. Hal tersebut tidak selalu berjalan tanpa masalah, kadang-kadang persinggungan antar kebudayaan lokal pasca Orde Baru melahirkan pelbagai macam konflik—dalam kasus tertentu mengakibatkan pertikaian antar etnik yang membuat banyak kepala terpisah dengan raganya seperti yang terjadi di Kalimantan pada tahun 1999[2].

Pasca keruntuhan Orde Baru, pusat-pusat kebudayaan di Nusantara menunjukan geliat keberbudayaannya yang (re)eksistensial sebagai sebuah jawaban atas keterbatasannya selama ini. Kota Bandung sebagai salah satu pusat kebudayaan di Nusantara menunjukan geliat yang serupa; ditandai dengan gerakan kebudayaan Sunda yang secara (re)eksistensial mewujud ke dalam identitas kebudayaan yang progresif mulai dan mulai mengisi kekosongan dinamika kebudayaan kosmopolitan yang kompleks namun lesu dengan kesemarakan kebudayaan yang euforiatif. Saya mencatat, pada akhir tahun 2010-an, kebudayaan Sunda mulai menampakan eksistensinya; dari para akademisi, seniman yang terlupakan hingga musisi metal yang pernah tercampakan. Kebudayaan Sunda di(re)interpretasikan secara leluasa oleh mereka sehingga melahirkan simbol-simbol kebudayaan Sunda yang eksisten ketika berhadapan dengan konstansi zaman. Fenomena ini dapat dikatakan sebagai sebuah “Renaissance” kebudayaan Sunda; sebuah “kembangkitan kembali” kebudayaan Sunda. Terma “Renaissance” tentu akan bermasalah di dalam konteks ketimuran budaya Sunda, akan tetapi, terma tersebut digunakan untuk merujuk proses yang sama yakni (re)interpretasi kebudayaan Sunda yang tidak mereproduksi kebudayaan Sunda secara romantik dan apa adanya. (re)interpretasi inilah yang disebut sebagai “Renaissance” karena secara subtansif proses tersebut meladeni konstansi zaman dengan me(re)interpretasikan kebudayaan Sunda ke dalam bentuk-bentuk yang “baru” namun tidak otentik. “Renaissance” a la Sunda ini pun pada akhirnya memberikan bentuk-bentuk humanisme yang paling elementer karena secara filosofis memberikan ruang-ruang dialogis antar subjek di dalamnya secara subtansial.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “Renaissance” kebudayaan Sunda adalah (re)interpretasi kebudayaan Sunda yang melahirkan pelbagai macam subjek-subjek kebudayaan yang eksisten dengan konstansi zaman. (re)interpretasi terhadap kebudayaan Sunda dilakukan oleh beberapa kalangan yang dapat dikatakan telah memberikan pengaruh terhadap “Renaissance” kebudayaan Sunda secara signifikan; para akademisi yang sebetulnya telah meneliti kebudayaan Sunda sejak zaman entah kapan; para seniman yang memberikan sumbangan terbesar terhadap “Renaissance” kebudayaan Sunda, misalnya para musisi, penari, sastrawan, dramawan, dan lainnya; para teolog yang memberikan pemahaman teologisnya dengan kebudayaan Sunda; para organisator; para “orang-orang luar”; dan para budayawan. Para musisi, misalnya, dapat dikatakan memberikan pengaruh yang besar terhadap “Renaissance” kebudayaan Sunda karena secara simultan memberikan stimuli-stimuli yang efektif kepada khalayak, khsusnya khalayak peminatnya. Bagi generasi muda di kota Bandung, khususnya para metal head, Jasad dikenal sebagai band metal yang nyunda.

[1] F. Budi Hardiman. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. “…dalam hal ini mereka tidak sekedar bernostalgia tentang masa silam, melainkan memanfaatkan minat-minat kebudayan klasik itu demi kepentingan masa depan kebudayaan Barat.” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 9.

[2] Lih. Richard Lloyd Parry. Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan. (Jakarta: Serambi, 2008), 33-91. Jurnalisme sastrawi yang sangat komperhensif yang memberikan penjelasan yang sangat dekat bahkan vulgar tentang pertikaian antar etnis Dayak dan Madura di Kalimantan pada tahun 1999 yang banyak memakan korban jiwa dari kedua belah pihak dan melahirkan kesumat yang hingga hari ini belum berakhir secara utuh. (pen)

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *