Estetika


Ringkasan Perihal Estetika dan Seni

“Apakah yang indah perlu dinamai?” tulis Ayu Utami, lewat novelnya, Saman. Pertanyaan tersebut adalah ide terpenting dalam sejarah estetika filsafati sejak zaman Yunani Klasik hingga zaman modern (abad ke-18). Keindahan (beauty) adalah persoalan yang banyak menarik minat para filsuf dari Plato hingga Nietzsche. Dari persoalan itu lahirlah pertanyaan yang sederhana tetapi memusingkan, “Apakah keindahan itu?” Secara etimologi, keindahan dalam bahasa Inggris adalah beautiful; dalam bahasa Prancis beau; dalam bahasa Italia dan Spanyol adalah bello yang berasal dari kata Latin bellum. Akar kata bellum adalah bonum yang berarti kebaikan. Kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekan sehingga ditulis bellum (Dharsono, 2007:1). Ada sebuah dikotomi antara keindahan dalam kualitas abstrak dan keindahan dalam objek material tertentu. Di dalam bahasa Inggris keindahaan kualitas abstrak sering disebut sebagai beauty sedangkang benda atau hal yang indah disebut the beauty. Di dalam konteks filsafati, keduanya terkadang dicampurkan begitu saja. Selain itu, terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian, yaitu: (a) Keindahan dalam arti luas, (b) Keindahan dalam arti estetis murni, (c) Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan (Dharsono, 2007:1).

Para filsuf Yunani Klasik mengartikan keindahan di dalam arti yang luas yang di dalamnya terdapat pula ide tentang kebaikan. Plato, misalnya menyebutkan tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedangkan muridnya, Aristoteles menyebutkan bahwa keindahan sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan. Plotinus juga menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Selain keindahan yang bersifat “idea”, para filsuf ini mengenal pula keindahan dalam konteks yang lebih estetik yang disebut sebagai symmetria untuk keindahan berdasarkan penglihatan dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran. Artinya, keindahan di dalam arti luas menyangkut segala bentuk keindahan secara luas; keindahan alam, seni, moral, intelektual, dan lain sebagainya. Keindahan dalam arti estetika murni menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Keindahan dalam arti yang terbatas hanya berupa benda-benda yang dicerap dengan penglihatan seperti keindahan dari bentuk dan warna.

Dikotomisasi tentang keindahan di atas sebetulnya jauh dari kata tuntas dalam memecah pertanyaan tentang, “Apakah keindahan itu?” Hal tersebut terjadi karena jawaban tentang keindahan sangatlah beragam. Oleh sebab itu ada sebuah “legitimasi” untuk menyamakan ciri-ciri umum pada semua benda yang dianggap indah melalui persamaan kualitas hakiki. Sehingga keindahan secara elementer adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal, seperti: kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), dan perlawanan (contrast). (Dharsono, 2007:2). Dengan demikian, keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan dan perlawanan dari garis, warna, bentuk, nada, dan kata-kata. Keindahan dapat pula dimaknai sebagai relasi yang selaras di dalam sebuah objek dan di antara objek dengan manusia. Read, misalnya mendefinisikan keindahan sebagai kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang terdapat di antara pencerapan-pencerapan indera kita (Dharsono, 2007:2). Ada pula yang menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure). Keindahan dibatasi sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran.

Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang memperhatikan atau berhubungan dengan gejala yang indah pada alam dan seni. Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” yang berarti hal-hal yang dapat diserap oleh pancaindera. Oleh karenanya estetika sering diartikan sebagai persepsi indera. Alexander Baumgarten adalah filsuf asal Jerman yang untuk kali pertama memperkenalkan kata “aisthetika”, bagi Baumgarten kata “aisthetika” atau estetika dipilih untuk memberikan tekanan kepada pengalaman seni sebagai sarana untuk mengetahui. Estetika berbeda dengan “filsafat keindahan”, karena estetika pada saat ini tidak melulu menjadi persoalan filosofikal; di dalamnya ada bahasan ilmiah yang terkait dengan karya seni. Berbicara pula tentang keindahan di dalam seni atau pengalaman estetis; berkaitan pula dengan gaya atau aliran seni, perkembangan seni dan lainnya.

Dickie dalam Aesthetica mengajukan tiga pertanyaan untuk mengisolir masalah-masalah di dalam estetika, yaitu: (1) Pernyataan kritis yang menggambarkan, menafsirkan, atau menilai karya-karya seni yang khas, (2) Pernyataan yang bersifat umum oleh para ahli sastra, musik atau seni untuk memberikan ciri khas genre-genre artistik (misalnya tragedy, bentuk sonata, lukisan abstrak), (3) Ada pertanyaan tentang keindahan, seni imitasi, dan lain-lain (Dharsono, 2007:4).

Kemudian ada pertanyaan yang menyangkut hubungan estetika dan filsafat. Secara subtansial, estetika adalah salah satu cabang dari filsafat, Liang Gie menyatakan ada enam jenis persoalan filsafat, yaitu: (1) Persoalan metafisis, (2) Persoalan epistemologis, (3) Persoalan metodologis, (4) Persoalan logis, (5) Persoalan etis, dan (6) Persoalan estetika. Ada pula yang berpendapat bahwa estetika meliputi empat hal pokok, yakni: (1) Nilai estetika, (2) Pengalaman estetis, (3) Perilaku orang yang mencipta (seniman), dan, (4) Seni (Dharsono, 2007:4). Louis Kattsof berpendapat bahwa estetika adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan batas rakitan (structure) dan peranan (role) dari keindahan khususnya dalam seni. Dari struktur dan peranan tersebut lahirlah pertanyaan: apakah itu seni? Apakah teori tentang seni, apa keindahan itu objektif atau subjektif? Apakah keindahan itu berperan dalam kehidupan manusia?

Empiris(isme) yang terhadap di dalam filsafat telah membentuk kecenderungan estetika sebagai ilmu kesenian (science of art). Misalnya, di dalam sebuah karya seni dapat ditelaah beberapa persoalan objektif seperti susunan seni; anatomi bentuk; perkembangan genre seni, dan lainnya. Oleh karena itu, estetika dan ilmu menjadi kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketidakterpisahan estetika dan ilmu menghasilkan nilai-nilai estetik khususnya yang berhubungan dengan seni. Kant, misalnya membagi nilai estetis menjadi dua: (1) nilai murni terdapat pada garis, bentuk, warna dalam seni rupa. Gerak, tempo, irama, dalam seni tari. Suara, metrum, irama dalam seni music. Dialog, ruang, gerak dalam seni drama, dan lainnya. Nilai murni adalah keindahan murni. (2) Nilai tambahan, adalah yang ditambahkan pada bentuk-bentuk manusia, alam, binatang dan lain-lain; gerak lambaian, sembahan dan lain-lain; suara tangisan dan lain-lain. Keindahan yang dapat dinikmati penggemar seni yang terdapat pada unsur-unsur tersebutlah yang disebut sebagai nilai tambahan.

Teori-teori tentang estetika berkembang, diantaranya, misalnya teori intrinsik, teori ekstrinsik, teori serba intelektual, teori katarsis. Teori intrinsik berpendapat bahwa nilai seni terdapat pada “bentuknya”. Bentuk adalah medium inderawi sebuah karya seni. Isinya adalah tidak relevan. Misalnya, lukisan pemandangan alam; nilai keindahan dibentuk dari hubungan garis-garis, warna-warna, dan bentuk-bentuk yang dapat disadari. Sedangkan pepohonan, gunung, awan, matahari, dan mungkin sungai tidaklah relevan dengan keindahan yang sesungguhnya sebagai objek real. Teori intrinsik secara subtansif menyadur konsep idea Palto yang dikembangkan oleh Kant. Teori ekstrinsik berpendapat bahwa susunan dari arti-arti di dalam dan susunan medium inderawi yang menampung proyeksi dari makna dalam harus dilebur. Nilai-nilai keindahan mencakup semunya, meliputi semua arti yang diserap dalam seni dari cita yang mendasarinya.

“Tujuan seni ialah mengungkapkan kebenaran”. Teori serba intelektual didasari filsafat Aristoteles yang menyatakan bahwa “keindahan adalah kebenaran, keindahan yang benar atau kejujuran!” kebenaran yang dimaksud adalah manifestasi prinsip universal dalam kehidupan yang nyata ataupun khayali. Disebut pula sebagai kebenaran baru (new reality) dan kebenaran kedua (second reality). Artinya, ilmu pengetahuan dan seni memiliki tujuan yang sama hanya berbeda dalam prosesnya: ilmu pengetahuan menyajikan bayangan dalam bentuk nilai-nilai abstrak, sedangkan seni menyediakan bayangan nyata dan merupakan perumpamaan. Teori katarsis yang diintrodusir oleh Aristoteles bertolak dari efek seni drama/teater terhadap khalayaknya yang mendapatkan kepuasan dan kedamaian. Baginya, keindahan adalah ekspresi dan ekspresi adalah “muatan” atau “isi” seni. Seni adalah representasi bukan realitas sehingga seniman dapat mengatasi pelbagai masalah dengan karyanya tersebut.


5 responses to “Estetika”

  1. Saya terkagum membaca artikel ini karena setelah membaca artikel ini pikiran saya menjadi terbuka. Saya sadar, selama ini saya terlalu tertutup dengan hal-hal yang baru dan merasa sudah tahu. Hal ini berimbas kepada saya yakni saya menjadi orang yang Sok Tahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *